Selasa, 30 Oktober 2007

wacana konsorsium stanford

REMAJA AS DIHUKUM CAMBUK DI SINGAPURA
* Kapolri: Indonesia Perlu Meniru Singapura
Singapura, Kamis
Pelaksanaan hukuman cambuk bagi Michael Fay (18) -- remaja AS
yang melakukan aksi vandalisme (perusakan) di Singapura -- akhirnya
dijalankan hari Kamis (5/5).

Kendati jumlah cambukan telah dikurangi dari enam menjadi empat
kali, pelaksanaan hukuman itu menimbulkan ketidaksenangan Amerika.
Deplu AS merencanakan untuk memanggil Dubes Singapura di Washington
guna mengungkapkan sikap pemerintahan Bill Clinton.

Sementara itu, Kapolri Jenderal (Pol) Banurusman Astrosemitro
dalam percakapan dengan wartawan Kompas Robert Adhi Ksp pada
perjalanan Phuket - Bangkok
, hari Kamis (5/5) mengemukakan,
Indonesia perlu meniru Singapura dan Malaysia yang menerapkan
hukuman cambuk bagi pelaku kriminal.

Menurut Banurusman, hukuman ini ternyata sangat efektif,
terutama untuk menimbulkan efek jera bagi para pelaku kejahatan.
Karenanya, pihak Dewan Perwakilan Rakyat hendaknya memikirkan
penyusunan undang-undang bagi penerapan hukuman cambuk di Indonesia.

Tak seimbang
Jurubicara Gedung Putih, Dee Dee Myers mengatakan, bahwa
Clinton beranggapan bahwa hukuman cambuk itu tidak seimbang dengan
kejahatan yang dibuat. Ditambahkan, pemerintah AS kecewa mengapa
hukuman hanya diturunkan jumlahnya, sementara AS menuntut
dibatalkan. Ketika ditanya apakah hal itu akan mempengaruhi hubungan
AS-Singapura, Myers mengatakan, "Kami akan mengatakannya kemudian."

Menurut keterangan Departemen Penjara Singapura, Fay dihukum
cambuk di Queenstown Remand Prison, di mana ia menjalani hukuman
penjara empat bulan dan denda 3,500 dollar Singapura (sekitar
Rp 4,8 juta), setelah bulan Maret dinyatakan bersalah mencoret-coret
mobil dengan semprotan cat. Ia dihukum cambuk bersama dengan
sembilan orang lain. Biasanya, pelaksanaan hukuman cambuk tak
pernah diumumkan. Namun pada kasus Fay menjadi lain, karena
munculnya perhatian publik, terutama AS.

"Ia diperiksa dokter penjara setelah pencambukan dan dinyatakan
dalam kondisi yang memuaskan," ujar jurubicara Departemen Penjara.
Namun, rincian hukuman cambuk terhadap Fay itu sendiri tak
dijelaskan. Hanya sebelumnya pernah dijelaskan bahwa hukuman
biasanya dilaksanakan dengan cara narapidana diikat pada sebuah
kuda-kuda. Ikatan dilakukan pada pergelangan tangan dan pergelangan
kaki dengan memakai tali kulit (lihat sketsa-red).

Sebuah tongkat rotan, sepanjang 1,2 meter dengan ketebalan
1,3 cm, dicelupkan ke dalam air, guna mencegah terkoyaknya kulit
dan daging terhukum. Air pencelup sebelumnya juga telah dibubuhi
dengan obat antiseptik. Sipir penjara lantas mencambukkan rotan
itu di pantat telanjang terhukum, sementara petugas yang lain
menghitung. Seorang dokter memeriksa napi sebelum dan sepanjang
pencambukan guna menjamin dirinya sehat secara medis.

Jurubicara itu mengatakan, pencambukan mungkin meninggalkan
bekas memar. Tetapi, sumber lain yang kenal dengan proses pencambukan
itu mengatakan, kulit biasanya terkelupas pada setiap bagian yang
tercambuk. Luka itu berdarah dan amat sakit, serta meninggalkan
bekas codet yang permanen.

Menurut sumber itu, dibutuhkan waktu berminggu-minggu untuk
menyembuhkan luka-luka tersebut. Akibat lain, sang napi tidak akan
bisa duduk atau berbaring selama berhari-hari.

Amat terkejut
Saat pasti pelaksanaan hukuman cambuk sebelumnya tidak
diberitahukan kepada siapa pun, termasuk kepada narapida yang
bersangkutan. Bahkan, pengacara Michael Fay -- yang sempat bertemu
dengan remaja tersebut hari Kamis siang -- mengatakan, Michael Fay
tampak tidak tahu bahwa tak berapa lama lagi akan menjalani hukuman
itu.

Karena itu ayah tiri Michael Fay, Marco Chan, kepada wartawan
mengatakan bahwa istrinya, Randy Chan, amat terkejut mendengar
berita -- bahwa pencambukan telah dilaksanakan -- yang dibawa oleh
pengacara Fay. Bahkan, Randy Chan tampak sangat marah. "Saya tak
bisa bicara dengan Anda saat ini," katanya, tak lama setelah
dihubungi setelah pencambukan.
Bermanfaat untuk jera

Kapolri Jenderal (Pol) Banurusman Astrosemitro mengungkapkan
hukuman cambuk di Indonesia sebetulnya tumbuh dari keinginan rakyat.
Di beberapa daerah, hukuman semacam ini tergolong sebagai hukum adat.
Hukuman cambuk tumbuh dari bawah, dan bukan dari sistem hukum yang
datang dari badan pemerintah atau pembuat undang-undang. Karena
tumbuh dari bawah, dan diterima masyarakat, maka hukuman semacam ini
ditakuti.

Kapolri berpendapat, hukuman cambuk yang sudah diterapkan di
Singapura dan Malaysia, baik juga untuk dikaji. Hukuman ini tidak
berlaku untuk wanita dan orangtua di atas 50 tahun. Hukuman ini
hanya berlaku untuk jenis kejahatan tertentu saja, seperti
kejahatan seks. Ia berharap pihak DPR menganalisis kemungkinan
penerapan hukuman cambuk diberlakukan di Indonesia.

Sementara itu Deputi Kapolri bidang Operasi Mayjen (Pol)
Koesparmono Irsan dalam percakapan terpisah mengatakan, hukuman
rotan sebenarnya sudah ada di Indonesia. Tapi karena bertentangan
dengan tata krama hukum dan kemanusiaan, maka dihapus. Hukuman
ini pun sebenarnya dikenal dalam hukum Islam.

Hukuman cambuk dianggap berhasil menimbulkan efek jera,
seperti yang terbukti dari evaluasi Kepolisian Singapura.
Koesparmono berpendapat, hukuman cambuk ini pantas diberlakukan
terhadap anak-anak pelajar yang sering berkelahi. "Daripada
digunduli, lebih baik dirotan saja," katanya.

Sementara itu Kepala Kepolisian Singapura, Tee Tua Ba dalam
suatu percakapan dengan Kompas menjelaskan, betapa efektifnya
hukuman cambuk yang diterapkan negara itu. Para pelaku kriminal
yang terkena hukuman cambuk, ternyata jera mengalaminya sekali
lagi, sehingga mereka lebih suka masuk penjara ketimbang
dicambuk. Kecil sekali jumlah orang yang pernah dihukum cambuk,
kembali lagi melakukan kejahatan. (Rtr/AFP/AP/fit)


Tidak ada komentar: